Rabu, 25 Februari 2015

Catatan Singkat: Dogma Mennonite dalam Tata Gereja GITJ (part 2)

sambungan...
Dogma Tentang Ketetapan dalam Perjanjian Baru
Dalam sebuah tulisan mengenai teologi mennonite, disebutkan bahwa: Perjamuan Kudus lebih dipahami sebagai sebuah peringatan, daripada sebagai ritual-magis Kristen seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma.[1] Diketahui bersama bahwa dalam Sakramen Perjamuan Kudus, Gereja Katolik Roma menganut paham transubstansiasi (perubahan roti dan anggur menjadi daging dan darah saat melaksanakan sakramen sedang berlangsung). Selain itu, Gereja Katolik Roma mengakui ada tujuh[2] sakramen. Dalam pemahaman kaum mennonite, sakramen yang benar hanya dua yakni sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus. Dengan alasan bahwa, dua sakramen tersebut langsung dilembagakan oleh Tuhan Yesus sendiri. Adapun pentahbisan pemimpin gereja, penyerahan anak, pernikahan, dan pertobatan dilaksanakan melalui sebuah ibadah khusus saja. Pengajaran tersebut tertuang dalam pasal 15 tentang pelayanan peribadatan.

Dogma Tentang Kesalehan

Ciri khas pengajaran mennonite adalah Injili, yakni pengajaran yang menuntun kepada kesalehan hidup. Dalam arti pengajaran yang menuntun umat untuk hidup berpadanan dengan Injil Kristus. Aplikasi dari pemahaman tentang kesalehan tertuang dalam Tata Gereja GITJ pasal 5 tentang usaha gereja untuk menyatakan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi; termasuk menyatakan kesalehan. Selanjutnya pada pasal 17, yang berbicara tentang mendidik anggota jemaat dalam kesalehan. Selain itu pada pasal 18 yang juga mengindikasikan wujud nyata dari ajaran kesalehan yakni melalui pekabaran Injil. Terakhir pada pasal 34, juga mengindikasikan adanya upaya untuk mewujudkan kesalehan dalam kehidupan bernegara, demi mensejahterakan masyarakat melalui yayasan berbadan hukum.

Dogma Tentang Larangan Bersumpah
Menurut pengakuan iman Schleitheim, umat Tuhan dilarang bersumpah karena Tuhan Yesus melarang pengambilan sumpah maupun bersumpah. Adapun bersaksi tidakperlu bersumpah, yang terpenting adalah mengatakan ‘ya’ bila ‘ya’ dan ‘tidak’ bila pada kenyataannya tidak. Dalam kenyataannya, Tata Gereja GITJ mengatur bahwa dalam pelantikan Pendeta, BPH Sinode, BPH Klasis, ataupun majelis tidak diminta untuk bersumpah.

Dogma Tentang Anti Kekerasan
Kiblat pengajaran mennonite juga terpengaruh oleh Pengakuan iman Schleitheim, bahwa: Kekerasan tidak boleh digunakan dalam situasi apapun. Cara anti kekerasan berpola pada teladan Kristus yang tidak pernah menunjukkan kekerasan dalam menghadapi penganiayaan. Seorang Kristen tidak boleh menghakimi dalam perselisihan duniawi. Hal ini tidak sesuai untuk seorang Kristen untuk melayani sebagai hakim, hakim bertindak sesuai dengan aturan dari dunia, tidak sesuai dengan aturan langit, senjata mereka duniawi, tetapi senjata seorang Kristen adalah roh.[3] Dogma tentang anti kekerasan ini tertuang dalam Tata Gereja GITJ pasal 11, dalam mana dapat dipahami bahwa semua pelayan baik Tua-tua, diaken dan pengajar harus memenuhi syarat yang tertulis dalam I Tim. 3:1-13 dan Titus 1:5-16. Namun pendisiplinan tetap harus dijalankan demi kelangsungan pelayanan gerejawi yang kudus sebagaiman tertuang dalam pasal 24 (Matius 18:15-18).

 Pemerintahan dalam Tata Gereja GITJ
Azas pemerintahan GITJ, dipengaruhi oleh dogma mennonite sehingga bentuk pemerintahannya adalah Konggregasional Sinodal (pasal 7, & 26). Sehingga berpengaruh terhadap pelaksanaan pengambilan keputusan dan pelantikan majelis, yakni melibatkan anggota gereja dewasa untuk memberikan pendapat melalui rapat anggota gereja (Pasal 12, ay. 1). Demikian pula dalam tingkat Sinode, baik pelantikan pengurus maupun pengambilan keputusan dilaksanakan melalui rapat bersama yang dihadiri oleh wakil dari gereja-gereja anggota Sinode (ps.27,35,36 dan 43)


[1] Dikutip dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mennonite, accessed 10 Februari 2014
[2] 7 sakramen tersebut ialah: pembaptisan, penguatan, ekaristi, tobat, pengurapan orang sakit, pentahbisan imam, dan perkawinan.
[3] Diterjemahkan bebas dari http://en.wikipedia.org/wiki/Schleitheim_Confession, accessed 10 Februari 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Say No to Divorce !

If we pay attention to the divorce statistics in Indonesia, we may be interested in the facts. According to data from the Director General o...