sambungan...
Dogma Tentang Ketetapan
dalam Perjanjian Baru
Dalam
sebuah tulisan mengenai teologi mennonite, disebutkan bahwa: Perjamuan
Kudus lebih dipahami sebagai sebuah
peringatan, daripada sebagai ritual-magis
Kristen seperti yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma.[1] Diketahui
bersama bahwa dalam Sakramen Perjamuan Kudus, Gereja Katolik Roma menganut
paham transubstansiasi (perubahan roti dan anggur menjadi daging dan darah saat
melaksanakan sakramen sedang berlangsung). Selain itu, Gereja Katolik Roma
mengakui ada tujuh[2]
sakramen. Dalam pemahaman kaum mennonite, sakramen yang benar hanya dua yakni
sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus. Dengan alasan bahwa, dua sakramen
tersebut langsung dilembagakan oleh Tuhan Yesus sendiri. Adapun pentahbisan
pemimpin gereja, penyerahan anak, pernikahan, dan pertobatan dilaksanakan
melalui sebuah ibadah khusus saja. Pengajaran tersebut tertuang dalam pasal 15
tentang pelayanan peribadatan.
Dogma Tentang Kesalehan
Ciri
khas pengajaran mennonite adalah Injili, yakni pengajaran yang menuntun kepada
kesalehan hidup. Dalam arti pengajaran yang menuntun umat untuk hidup
berpadanan dengan Injil Kristus. Aplikasi dari pemahaman tentang kesalehan
tertuang dalam Tata Gereja GITJ pasal 5 tentang usaha gereja untuk menyatakan
tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi; termasuk menyatakan kesalehan. Selanjutnya
pada pasal 17, yang berbicara tentang mendidik anggota jemaat dalam kesalehan. Selain
itu pada pasal 18 yang juga mengindikasikan wujud nyata dari ajaran kesalehan
yakni melalui pekabaran Injil. Terakhir pada pasal 34, juga mengindikasikan
adanya upaya untuk mewujudkan kesalehan dalam kehidupan bernegara, demi
mensejahterakan masyarakat melalui yayasan berbadan hukum.
Dogma Tentang Larangan
Bersumpah
Menurut
pengakuan iman Schleitheim, umat Tuhan dilarang bersumpah karena Tuhan Yesus
melarang pengambilan sumpah maupun bersumpah. Adapun bersaksi tidakperlu
bersumpah, yang terpenting adalah mengatakan ‘ya’ bila ‘ya’ dan ‘tidak’ bila
pada kenyataannya tidak. Dalam kenyataannya, Tata Gereja GITJ mengatur bahwa
dalam pelantikan Pendeta, BPH Sinode, BPH Klasis, ataupun majelis tidak diminta
untuk bersumpah.
Dogma Tentang Anti
Kekerasan
Kiblat
pengajaran mennonite juga terpengaruh oleh Pengakuan iman Schleitheim, bahwa: Kekerasan
tidak boleh digunakan dalam situasi apapun. Cara anti kekerasan berpola pada
teladan Kristus yang tidak pernah menunjukkan kekerasan dalam menghadapi
penganiayaan. Seorang Kristen tidak boleh menghakimi dalam perselisihan
duniawi. Hal ini tidak sesuai untuk seorang Kristen untuk melayani sebagai
hakim, hakim bertindak sesuai dengan aturan dari dunia, tidak sesuai dengan
aturan langit, senjata mereka duniawi, tetapi senjata seorang Kristen adalah
roh.[3]
Dogma tentang anti kekerasan ini tertuang dalam Tata Gereja GITJ pasal 11,
dalam mana dapat dipahami bahwa semua pelayan baik Tua-tua, diaken dan pengajar
harus memenuhi syarat yang tertulis dalam I Tim. 3:1-13 dan Titus 1:5-16. Namun
pendisiplinan tetap harus dijalankan demi kelangsungan pelayanan gerejawi yang
kudus sebagaiman tertuang dalam pasal 24 (Matius 18:15-18).
Pemerintahan dalam Tata Gereja GITJ
Azas pemerintahan GITJ,
dipengaruhi oleh dogma mennonite sehingga bentuk pemerintahannya adalah
Konggregasional Sinodal (pasal 7, & 26). Sehingga berpengaruh terhadap
pelaksanaan pengambilan keputusan dan pelantikan majelis, yakni melibatkan
anggota gereja dewasa untuk memberikan pendapat melalui rapat anggota gereja
(Pasal 12, ay. 1). Demikian pula dalam tingkat Sinode, baik pelantikan pengurus
maupun pengambilan keputusan dilaksanakan melalui rapat bersama yang dihadiri
oleh wakil dari gereja-gereja anggota Sinode (ps.27,35,36 dan 43)
[2] 7 sakramen tersebut ialah:
pembaptisan, penguatan, ekaristi, tobat, pengurapan orang sakit, pentahbisan
imam, dan perkawinan.
[3]
Diterjemahkan bebas dari http://en.wikipedia.org/wiki/Schleitheim_Confession, accessed 10 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar